COTOH MAKALAH
“DINAMIKA KESETARAAN GENDER DALAM KEHIDUPAN POLITIK
DI INDONESIA”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Perpolitikan
DISUSUN
OLEH :
DANU
RAMDHANA
201210340311141
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012/2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kemampuan,
kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Dinamika Kesetaraan Gender
Dalam Kehidupan Politik Di Indonesia” tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan
makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan
bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Dr. Dwi Windyastuti
Budi Hendrarti, Dra.,MA dan Dr. Siti Aminah, Dra.,MA selaku dosen Politik
Gender Dan Demokrasi atas bimbingan, pengarahan, dan kemudahan yang telah
diberikan kepada penulis dalam pengerjaan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan makalah ini. Maka dari
itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca
sekalian. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja
yang membacanya.
Surabaya, 4 Juni 2013
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Dilihat
dari latar belakang historisnya, konsep kesetaraan gender menurut Rowbotham
sebenarnya lahir dari pemberontakan kaum perempuan di negara-negara barat
akibat penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman
Yunani, Romawi, Abad Pertengahan (the Middle Ages), dan bahkan pada “abad pencerahan” sekali pun, barat menganggap
wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala
kejahatan atau dosa. Hal ini pun kemudian memunculkan gerakan
perempuan barat menuntut hak dan kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan
politik yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan feminis. Kelahiran “feminisme” dibagi menjadi tiga gelombang, yakni feminisme gelombang pertama yang dimulai dari publikasi Mary
Wollstonecraft berjudul “Vindication of the Rights of Women” pada tahun 1972, yang menganggap kerusakan
psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan
ekonomi pada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang publik. Setelah
itu, muncul feminisme gelombang kedua dengan doktrinnya yang
memandang perbedaan gender sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan
terhadap perempuan. Pada gelombang kedua inilah dimulai gugatan perempuan
terhadap institusi pernikahan, keibuan (motherhood), hubungan lawan jenis (heterosexual relationship) dan secara radikal mereka berusaha mengubah
setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik. Terakhir adalah feminisme gelombang ketiga yang lebih menekankan kepada
keragaman (diversity),
sebagai contoh ketertindasan kaum perempuan heteroseksual yang dianggap berbeda dengan ketertindasan yang
dialami kaum lesbi dan sebagainya.
Indonesia
pun memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Sejak era
Kartini, kaum perempuan di Indonesia mulai menyadari arti pentingnya kesetaraan
gender dalam memperoleh hak-hak publik seperti yang diperoleh kaum lelaki. Pada dasarnya, jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan
khususnya di bidang pemerintahan dan hukum telah ada sejak Undang-Undang Dasar
1945 dibentuk yakni dalam pasal 27 ayat 1.
Namun pada kenyataannya, masih banyak
program-program pembangunan yang biayanya dari anggaran keuangan pemerintah
Indonesia sendiri atau dari dana bantuan maupun pinjaman luar negeri, yang
hasil maupun dampak positifnya lebih memihak laki-laki, ketimbang perempuan.
Selain itu, alokasi dana dan sumber-sumber untuk sektor-sektor yang akrab dengan
perempuan dan menyentuh pada kehidupan privat di pelosok-pelosok Indonesia
sangatlah minim. Dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender merupakan indikator bahwa isu gender yang terus bergulir
belum mendapatkan perhatian khusus dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk
pembangunan politik yang berwawasan gender. Bahkan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik di Indonesia
memperlihatkan representasi yang rendah dalam semua tingkat pengambilan
keputusan, baik di tingkat eksekutif, yudikatif, maupun birokrasi, partai
politik, bahkan kehidupan politik lainnya. Oleh karena itu pada makalah ini, penulis mencoba untuk membahas
pendahuluan yang berisikan latar belakang dan pernyataan argumen. Selanjutnya,
penulis juga akan menguraikan beberapa gagasan-gagasan serta bukti-bukti yang
mendukung argumen tersebut pada bab berikutnya, yaitu bagian pembahasan. Dan di
bagian terakhir makalah ini, penulis akan mencoba untuk memberikan ringkasan
kesimpulan dan juga saran.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
permasalahan kesetaraan gender di Indonesia?
2.
Bagaimana arti
pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia?
3.
Bagaimana
upaya memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia?
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai
dalam penulisan makalah ini ini adalah
1. Mengetahui
permasalahan kesetaraan gender di Indonesia
2. Mengetahui
arti pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia.
3. Mengetahui
upaya memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia.
1.4
Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai
dalam penulisan makalah ini adalah
1. Untuk
mengetahui bagaimana permasalahan kesetaraan gender di Indonesia.
2. Untuk
mengetahui bagaimana arti pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan politik
di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui bagaimana upaya memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan
politik di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Permasalahan
Kesetaraan Gender di Indonesia
Pada dasarnya
semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki berbeda. Namun, gender bukanlah jenis kelamin
laki-laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan. Gender lebih ditekankan pada
perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh masyarakat. Dalam
realitas kehidupan telah terjadi perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan
yang melahirkan perbedaan status sosial di masyarakat, dimana laki-laki lebih
diunggulkan dari perempuan melalui konstruksi sosial. Perbedaan gender antara
laki-laki dan perempuan ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk,
yang kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dibentuk melalui sosial atau
kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos. Perbedaan
jenis kelamin sering dipergunakan masyarakat untuk membentuk pembagian peran (kerja)
laki-laki dan perempuan atas dasar perbedaan tersebut. Akibatnya terjadilah
pembagian peran gender yaitu peran domestik dan peran publik. Peran domestik
cenderung tidak menghasilkan uang, kekuasaan, dan pengaruh. Peran ini lebih
banyak diserahkan kepada kaum perempuan, sedangkan peran publik yang
menghasilkan uang, kekuasaan dan pengaruh diserahkan kepada kaum laki-laki.
Akibat pembagian kerja yang tidak seimbang melahirkan ketimpangan peran
laki-laki dan perempuan yang berakibat ketidakadilan gender yang merugikan
perempuan. Di Indonesia, ketimpangan gender terlihat dari segala aspek antara
lain dalam lingkungan keluarga, kependudukan, pendidikan, ekonomi, pekerjaan,
dan dalam pemerintahan. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang
tidak seimbang ini juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan kultural masyarakat
Indonesia yang terdiri dari banyak etnis dan suku. Setiap masyarakat suku di
Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri dalam memaknai peran gender di
Indonesia. Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang
tidak ada habisnya dan masih terus
diperjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Permasalahan tentang
kesetaraan gender ini mencakup substantif pemahaman tentang kebijakan
perspektif gender itu sendiri. Peningkatan kesadaran dan pemahaman itu, harus
dibarengi dengan adanya keterwakilan perempuan-perempuan dalam lembaga-lembaga
negara, terutama lembaga pembuat kebijakan. Mengingat perempuan masih saja
mengalami ketimpangan di bidang pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi hanya
karena perkembangan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang gender itu sendiri
masih sangat lambat. Meskipun perempuan ditempatkan pada peran domestik di
lingkungan keluarga, namun posisi perempuan Indonesia di lingkungan keluarga
selalu dinomor-duakan. Karena berperan sebagai pencari nafkah, posisi kepala
rumah tangga pada umumnya akan diserahkan kepada laki-laki/suami, kecuali jika
perempuan tersebut adalah seorang janda atau tidak ada laki-laki dalam suatu
keluarga.
Selama
ini, pemahaman masyarakat Indonesia merekonstruksi bahwa secara kodrat,
perempuan lemah dan laki-laki kuat, sehingga untuk menjadi pemimpin dalam
sebuah keluarga tetap diserahkan kepada laki-laki. Hal ini menunjukkan dominasi
laki-laki pada peran domestik. Keadaan tersebut menyebabkan posisi perempuan
sarat dengan pekerjaan yang beragam, dalam waktu yang tidak terbatas, seperti
memasak, mengurus rumah, mengurus anak, dan sebagainya. Pekerjaan domestik
tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi. Penempatan perempuan
pada tugas domestik sepenuhnya mengakibatkan potensi perempuan untuk melakukan
hal produktif menjadi berkurang. Memang, sejak awal berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Pemerintah secara resmi telah menganut dan menetapkan kesepakatan
atas persamaan antara perempuan dan laki-laki sebagaimana termuat dalam UUD 45
Pasal 27. Namun demikian, dalam perkembangannya, beberapa UU yang selama ini
berlaku di Indonesia, disadari mempunyai arti yang masih diskriminatif terhadap
perempuan. Seperti dalam UU mengenai sistem pengupahan tenaga kerja perempuan,
tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan-perempuan dianggap lajang sehingga
suami dan anak-anak tidak mendapatkan tunjangan sebagaimana yang diterima
pekerja laki-laki. Ketentuan ini termuat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja No. 7 Tahun 1990 tentang Upah, PP No. 37 Tahun 1967 tentang Sistem
Pengupahan di lingkungan perusahaan negara, Peraturan Menteri Pertambangan
No.2/P/M/1971, Peraturan Menteri Pertanian No.K440/01/2/1984 dan No.01/GKKU/3/1978
dan SE Menaker No.4/1988 tentang tunjangan kesehatan, serta pasal 8 UU
No.7/1983, pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan No. 947/KMK/04/1983 dan Pasal 8
UU No. 10/1994 tentang prosedur memperoleh NPWP. Selain itu, berdasarkan data
Komnas perempuan tahun 2012, telah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan
daerah yang diduga bias gender. Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak
mampu mengakomodir kesetaraan gender yang telah dijamin oleh UUD. Padahal,
kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia dalam
berperan dan berpartisipasi dan menerima manfaat pembangunan di segala bidang
kehidupan.
2.2
Kesetaraan Gender di Dunia Perpolitikan Indonesia
Politik pada
hakekatnya adalah upaya untuk merebut peran kekuasaan, termasuk akses dan
kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini, kondisi perpolitikan yang
ada di Indonesia masih sangatlah didominasi oleh laki-laki, baik di tingkat
yang paling sederhana yaitu keluarga, tingkat masyarakat hingga tingkat politik
formal. Gender menjadi isu yang
banyak dibicarakan seirama dengan perkembangan akses perpolitikan bagi
perempuan. Melalui akses perpolitikan, maka kesadaran untuk membincang relasi
gender di dalam kehidupan masyarakat menjadi semakin mengedepan. Kesetaraan
gender sebagaimana yang diketahui adalah produk impor dari negeri barat tentang
adanya tuntutan untuk keseimbangan peran
di dalam relasi gender tersebut. Pembicaraan gender di Indonesia banyak
dilakukan di tahun 1980-an. Melalui program dari Non Governmental Organization (NGO) lokal yang bekerja sama dengan
NGO internasional, maka banyak penyadaran tentang relasi gender yang dilakukan
di Indonesia. Banyak perbincangan dan pelatihan dengan tujuan untuk menyadarkan
tentang relasi gender. Jadi, yang dilakukan adalah melakukan pelatihan tentang
urgensi gender mainstreaming pada masyarakat negara sedang berkembang. Di
dunia internasional, banyak NGO yang bergerak di dunia ketiga, misalnya NGO
dari Belanda, Jerman, Inggris, dan juga Australia. Banyak program yang diusung,
misalnya tentang kesetaraan pendidikan, sosial, dan politik yang disinergikan dengan NGO lokal Indonesia yang juga bergerak di bidang ini.
Oleh karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara
berkembang termasuk di Indonesia. Di dunia politik, memang dominasi lelaki
masih nampak. Misalnya jika kita secara kuantitatif berhitung, berapa banyak
perempuan yang memasuki kawasan pimpinan di perpolitikan Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan
ini yang memang masih menjadi ganjalan di dalam kerangka untuk kesetaraan
gender. Namun demikian, di akhir-akhir ini, akses perempuan di dalam politik
memang sudah mulai tampak dengan semakin banyaknya keterlibatan perempuan di
dalam politik praktis. Sekarang semakin banyak perempuan di dunia legislatif,
birokrasi, dan juga jabatan-jabatan politik lain. Ada beberapa bupati perempuan
yang terdapat di Indonesia, demikian pula gubernur. Bahkan ada bupati perempuan
yang bisa menjabat dua kali periode, demikian pula gubernur. Tidak terhitung
yang berlama-lama di parpol dan kemudian berlanjut di lembaga legislatif.
Semakin
terbuka akses keterbukaan politik, maka tentu akan semakin banyak perempuan
yang akan bisa berkompetisi dengan kaum lelaki di dalam pentas publik. Oleh
karena itulah pemberian kuota kepada perempuan di dalam representasi politik
tentulah tidak penting. Meskipun begitu, saat ini hak-hak politik bagi
perempuan sudah banyak diakui, namun adanya hak-hak tersebut tidak menjamin adanya
sistem politik yang demokratis di mana asas partisipasi, representasi, dan
akuntabilitas diberi makna sesungguhnya. Adanya keterwakilan perempuan di
dalamnya, dan berbagai kebijakan yang muncul yang memiliki sensitivitas gender
tidak serta merta terwujud meskipun hak politik perempuan sudah diakui.
Perempuan sebagai warga negara seharusnya dapat berpartisipasi secara mandiri
dalam proses demokrasi ini. Selama ini di Indonesia, kita mendapati bahwa
sebagian besar perempuan bahkan belum dapat membuat pilihan politiknya secara
mandiri. Pilihan politik perempuan banyak dipengaruhi atau bahkan ditentukan
oleh suami, atasan, teman, atau keluarga. Bukti-bukti empiris sudah menunjukkan
bahwa kesetaraan gender sudah bukan masalah di negeri ini. Hanya saja yang
memang perlu diperjuangkan adalah bagaimana agar perempuan semakin berdaya di
dalam pengembangan SDM terutama melalui pendidikan, sehingga ke depan peluang
untuk memasuki dunia politik akan semakin nyata.
2.3
Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
Pendidikan
politik adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan
orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun kelompok. Proses
pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi Warga Negara Indonesia yang sadar dan menjunjung tinggi
akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan
bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini
ditekankan karena pada realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara
peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran,
utamanya pada peran-peran publik. Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan
dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan
kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud
kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang
politik. Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan
pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang
sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik
perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan
pilar-pilar demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif
yang aspiratif dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini
perlu mendapat perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu
ditangani adalah masalah pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga
dengan tumbuh berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka
diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi
yang dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative
Action) harus segera diubah dengan srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di
semua bidang kehidupan, khususnya di semua lini dan strata untuk mempercepat
persamaan akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan
dan laki-laki. Berdasarkan Inpres Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya mengikat
untuk melaksanakan PUG. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan jumlah kebijakan
pelaksanaan PUG yang akan mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah,
penyelenggara pemilu, dan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk
mendorong pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan di bidang politik melalui
peningkatan keterwakilan perempuan dalam pengambil kebijakan. Gerakan perempuan
dan pemerhati masalah perempuan, melakukan upaya yang sangat keras
memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30% keterwakilan perempuan sebagai jumlah
minimal dalam paket UU politik dari hulu ke hilir.
Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, mengatakan
bahwa efektivitas UU parpol dan UU pemilu terkait keterwakilan perempuan bisa
dilihat dari hasil pemilu 2009 dimana keterwakilan perempuan sudah meningkat
dibandingkan pemilu 2004. Jumlah ini masih jauh ketimbang dari hasil
keseimbangan ideal minimal 30%. Oleh karenanya, harus dilakukan pengawalan
sejak tataran perumusan kebijakan, proses dan implementasinya, serta evaluasi
dampaknya guna perbaikan kedepan pada pemilu 2014, sampai kesetaraan dan
keadilan partisipasi perempuan dalam politik yang terjadi, tidak dibutuhkan
lagi. Sementara itu, perempuan yang dilibatkan di dunia politik seharusnya
dapat mengetahui manfaat yang baik untuk dirinya maupun di partai politik,
namun pada faktanya, perempuan kini cenderung mudah dipengaruhi untuk menerima money politics. Hal tersebut diakibatkan
kurangnya pendidikan dasar dalam berpolitik yang belum dapat dipahami secara
penuh ketika berkiprah di dunia politik. Dalam proses demokratisasi, persoalan
partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan
akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih
bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang
memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang
terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah
ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat
efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi
publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotype, telah menciptakan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Akibat
yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan
pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Ini artinya, keberadaan
perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat memperlihatkan
gambaran yang tidak menggembirakan. Akar dari semua persoalan tersebut adalah
budaya patriarki yang menghambat semua ruang gerak perempuan di semua bidang,
termasuk bidang politik. Demokrasi berkaitan erat dengan politik. Konsep
demokrasi berasal dari istilah politik yang berarti pemerintahan oleh rakyat.
Di dalamnya terkandung makna “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Dalam terminologi politik yang bias gender, untuk waktu yang lama, pengertian
partisipasi “ dari rakyat, oleh rakyat, dan umtuk rakyat” hanya diartikan
secara terbatas hanya untuk beberapa kalangan tertentu dalam masyarakat, dan
tentu saja tidak termasuk perempuan di dalamnya. Keterwakilan perempuan adalah
untuk menyuarakan kepentingan perempuan. Pada titik ini, yang banyak diabaikan
oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan perempuan sendiri, adalah bahwa
kepentingan-kepentingan perempuan memang lebih baik disuarakan oleh perempuan
sendiri karena mereka sesungguhnya paling mengerti kebutuhan perempuan. Dalam
kerangka demokrasi yang representative,
pandangan dari kelompok yang berbeda harus dipertimbangkan dalam
memformulasikan keputusan dan kebijakan yang akan dibuat. Mempertimbangkan
kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam proses
pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka demokrasi yang mendorong ke arah
kesetaraan dan keadilan gender.
2.4
Upaya Memperjuangkan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
Pada
dasarnya, kuota 30% yang diberikan untuk keterlibatan perempuan dalam politik
dan keterwakilan perempuan dalam parlemen yang diamanatkan oleh Undang-undang
No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008
tentang Partai Politik (Parpol), masih sangat jauh dengan kenyataannya. Walau
sejatinya angka 30% ditinjau dengan hitungan statistik berdasarkan jumlah masih
dinilai tidak adil. Namun sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut hal
ini sebagai langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan
dalam langkah politiknya. Karena selama ini perempuan hanya berjumlah 12 % saja
yang berkiprah dalam ruang sidang di Senayan. Merupakan fenomena baru dan
menyegarkan dalam perkembangan sistem demokrasi di Indonesia, meskipun dalam
tataran yang relatif kecil dan sederhana, tetapi masih banyak harapan dan
peluang yang bisa dilalui oleh para perempuan dalam partisipasinya untuk
mensosialisasikan dan mengimplementasikan undang-undang tersebut sekaligus
sebagai penghargaan terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan yang selama
terpinggirkan oleh sistem. Karena pada kesempatan kali ini, publik akan
memberikan penilaian langsung terhadap partai-partai politik peserta pemilu
yang mempunyai kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-potensi perempuan,
bahkan ada semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau
organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak memilih
gambar partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan tidak
merealisasikan Undang-Undang tentang keterwakilan perempuan. Keterwakilan
perempuan menjadi penting karena jumlah perempuan dalam panggung politik masih
sangat rendah, berada dibawa standar, sehingga posisi dan peran perempuan dalam
lembaga legislatif, terlebih jabatan eksekutif sebagai pengambil dan penentu
kebijakan masih minim. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan perempuan masih
belum diperhitungkan. Dengan adanya dorongan untuk keterwakilan perempuan yang
30% di parlemen saat pemilu 2009 tersebut, seperti diamanatkan UU No. 10 tahun
2008, walaupun belum ada affirmative
action yang memberikan previlage
tertentu, sehingga memberikan syarat yang lebih mudah bagi caleg perempuan dari
pada caleg laki-laki, namun hasil dari pemilu tersebut sudah menunjukkan
keterwakilan yang meningkat dari pemilu sebelumnya, yaitu untuk DPR RI 18% dari
sebelumnya yang hanya 12% dan untuk keterwakilan di DPD agak lebih tinggi dari
pada keterwakilan di DPR, yaitu 27,3% dari sebelumnya 18,8%.
Berdasarkan
data tersebut di atas, kurang adanya
pengakuan terhadap pentingnya peran perempuan dalam proses politik, telah
terbuktikan dengan kurang terakomodirnya permasalahan perempuan dalam
perencanaan pembangunan, meskipun sejak lama sudah dikampanyekan dalam isu gender mainstreaming tentang perempuan
sebagai bagian dan sasaran dalam pembangunan pada tahun 1974 dengan menggunakan
pendekatan “Women In Development Approach
(WID)”. Hal ini dikarenakan konsep gender dalam pembangunan masih belum
diterjemahkan dengan baik oleh semua elemen pembangunan baik secara teoritis
maupun aplikatif. Sehingga hasil–hasil pembangunan masih berpihak pada
kelompok-kelompok tertentu.dan menjadi bias gender. Adapun upaya–upaya untuk
mencapai penyetaraan dan keadilan gender terus dilakukan oleh aktivis
perempuan, pada tahun 1980-an, melalui pendekatan “Gender And Development Aproach (GAD)”. Pendekatan ini tidak lagi melihat perempuan
dan laki–laki dari perbedaan biologis, akan tetapi memandang laki–laki dan
perempuan secara sosial dan struktural dapat berpartisipasi dalam proses
kehidupan, terutama partisipasi dalam kehidupan di ranah politik dan publik.
Partisipasi antara laki–laki dan perempuan dalam kehidupan berpolitik merupakan
salah satu prinsip perjuangan para aktivis perempuan, sampai diamanatkan dalam
konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang
kemudian diadopsi oleh sidang umum PBB tahun 1979 yang ditetapkan pada tahun
1981. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah meratifikasi melalui
Undang–Undang Republik Indonesia no. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 juli 1984
melalui lembar negara no. 29 tahun 1984. Meskipun demikian, sampai saat ini
perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan masih belum optimal karena adanya
diskriminasi secara struktural dan kelembagaan yang masih kuat dalam kehidupan
masyarakat. Pendiskriminasian semacam ini semakin melemahkan sumber daya
perempuan terlebih ketika para perempuan tidak mempunyai keinginan untuk
merubah dan melakukan pembenahan-pembenahan sejak dini.
Untuk
itu, adapun upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan
politik, yakni pertama, harus diusahakan adanya peraturan atau UU tentang
pemilu, pilkada, dan partai politik yang mencantumkan perihal affirmative action terhadap keterwakilan
perempuan dengan memberikan previlage tertentu kepada keterwakilan
perempuan, sehingga dengan adanya affirmative
action, diharapkan keterwakilan perempuan akan meningkat dan sesuai
harapan. Kedua, diperlukan adanya usaha-usaha peningkatan pendidikan bagi
perempuan secara terus menerus. Karena dengan adanya peningkatan taraf
pendidikan bagi kaum perempuan, maka akan meningkatkan kompetensi dan daya
saing kaum perempuan di bidang politik. Ketiga, diperlukan adanya pencerahan
dan pendidikan politik yang terus-menerus kepada masyarakat luas, bisa
dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, ormas, ataupun oleh lembaga–lembaga
lain, tentang unggulnya pemimpin politik perempuan. Dengan usaha itu diharapkan
akan memberikan perubahan pandangan tentang budaya patriarki bagi masyarakat,
sehingga kemungkinan terpilihnya peminpim politik perempuan akan sama dengan
kemungkinan terpilihnya pemimpim politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender
dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan
usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Di Indonesia, isu
kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih
berusaha terus diperjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.
Permasalahan tentang kesetaraan gender ini mencakup substantif pemahaman
tentang kebijakan perspektif gender itu sendiri. Oleh karenanya, gerakan gender
kemudian menjadi arus utama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.
Dalam proses demokratisasi, persoalan partisipasi politik perempuan yang lebih
besar, reperesentasi dan persoalan akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak
bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia. Demokrasi yang
bermakna adalah demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas
penduduk Indonesia yang terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah
bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan
ternyata memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki
wilayah ini. Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep
gender, peran gender, dan stereotype,
telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan
laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi
dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Untuk itu, diperlukan
berbagai upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik,
yang nantinya diharapkan akan memberikan perubahan pandangan tentang budaya
patriakhi bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpin politik
perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya peminpin politik laki-laki.
Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek
sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.
3.2 Saran
Dalam upaya
kesetaraan gender di Indonesia, khususnya dalam dunia politik, perlu adanya
upaya yang sinergis dan berkesinambungan, dengan melibatkan semua pihak yang
menjadi pelaku politik khususnya partai politik, organisasi kemasyarakatan dan
pemerintah melalui instansi terkait dalam penyelenggaraan pendidikan politik
bagi perempuan.
0 comments:
Post a Comment